Jumat, Agustus 26, 2011

Another Way to Love Part 6


Another Way to Love Part 6







Rio menghentikan langkahnya ketika suara alunan melodi dan nada indah itu berpadu merdu di telinganya. Dalam diam dia memejamkan kedua matanya, menikmatinya dengan hati.
indah terasa indah
bila kita terbuai dalam alunan cinta
sedapat mungkin terciptakan rasa
keinginan saling memiliki
dan bila itu semua
dapat terwujud dalam satu ikatan cinta
tak semudah seperti yang pernah terbayang
menyatukan perasaan kita
 tetaplah menjadi bintang di langit
agar cinta kita akan abadi
biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
agar menjadi saksi cinta kita berdua, berdua
sudah, terlambat sudah
ini semua harus berakhir
mungkin inilah jalan yang terbaik
dan kita mesti relakan kenyataan ini
“Prok..prok..prok..” rio memberikan aplause dan keluar dari tempat persembunyiannya. Via menatapnya dengan pandangan kaget, dia tidak menyangka rio mendengarkan permainan piano dan nyanyiannya dari tadi.
“Rio ? sejak kapan kamu ada disini ?”
“Sejak awal kamu nyanyiin lagu itu, bagus banget vi, kamu nyanyinya penuh penghayatan banget deh” puji rio tulus, via hanya tersenyum. Rio benar, via menyanyikan lagu itu dengan menggunakan hatinya yang terdalam, tapi sayangnya lagu itu bukan untuk rio.
“Makasih ya yo, kamu mau ngapain ke rumah aku ?”
“Mau main aja, kangen sama kamu, abis tadi seharian di sekolah sibuk banget sih, sampe enggak sempet ketemu kamu”
“Oh ya udah, kita duduk aja yuk di beranda kamar aku, kaya biasanya ngeliatin langit sore” ajak via.
“Enggak apa-apa nih masuk kamar kamu ?”
“Enggaklah, emang kamu mau ngapain ? hehe..dulu waktu kecil juga kamu sama alvin sering ke kamar aku. Udah sana kamu masuk, aku ambilin minum dulu..” rio cuma tersenyum sambil menuruti perintah via. Ia memasuki kamar yang di dominasi oleh warna putih dan ungu muda tersebut. Rio mengamati koleksi-koleksi novel dan pajangan-pajangan via.
“Kotak apaan nih ?” tanya rio pada dirinya sendiri, saat ia menemukan sebuah kotak kecil dari kayu, yang entah kenapa di sembunyikan via di antara pajangan-pajangannya. Diliputi rasa penasaran, rio pun membuka kotak tersebut, seuntai kalung dengan bandul serpihan kayu yang tidak rata di ujung-ujungnya ia temukan di dalam kotak tersebut.
“Ini kalung apaan ya ? kok gue ngerasa familiar, gue ngerasa pernah ngelihat serpihan kayu kaya gini juga deh” gumam rio sambil mengamati kalung tersebut. Dia berusaha mengorek ingatannya, dia merasa yakin pernah melihat benda yang mirip seperti ini sebelumnya.
“Yo, bukain pintu dong, aku bawa baki nih” panggi via dari balik pintu. Rio langsung meletakkan kalung itu kembali ke dalam kotaknya dan meletakkan kotak tersebut di tempatnya semula, kemudian segera membukakan pintu untuk via.
“Lama banget, abis lihat apa ayo kamu ?” tanya via dengan wajah penasaran.
“Lihat apa aja yang bisa aku lihat..hehe..” kilah rio. Mereka berdua duduk di beranda kamar via, menikmati pemandangan langit sore sekali lagi.
“Yo, kok kamu bisa sayang sama aku ?” tanya via tiba-tiba.
“Ya karena aku nyaman saat aku sama kamu, karena aku ngerasa, kamulah orang yang selalu bisa bikin detak jantung aku enggak normal saat kita lagi sama-sama, senyuman kamu yang selalu bisa bangkitin semangat aku, banyaklah, kalo aku sebutin satu-satu, setahun juga enggak akan kelar vi”
“Gombal...” timpal via.
“Kalo gombalan aku bisa bikin kamu terus ada di samping aku, aku rela ngegombal setiap waktu buat kamu”
“Apaan sih kamu..” lagi-lagi via merasa perasaan bersalah itu datang lagi menghampirinya.
“Kamu sendiri, kenapa nerima aku ?” via terdiam mendengar pertanyaan rio. Mengapa ia harus berpikir dulu, bukankah itu pertanyaan gampang, bukankah via tinggal bilang, karena ia juga menyayangi rio, tapi mengapa lidahnya terlalu sulit mengucapkan kata-kata itu.
“Hmm..karena aku..karena kita cocok” jawab via sambil tersenyum ke arah rio, hanya itu kata yang berhasil via ucapkan dari sekian banyak alasan yang bersarang di kepalanya.
“Aku enggak akan pernah ngecewain dan nyia-nyiain kamu vi” ujar rio sambil merain tangan via dan menggenggamnya erat. Mereka berdua terus ngobrol tentang segala hal, tentang kesibukan rio yang seabrek hingga obrolan ringan yang tidak penting. Setelah gelap menjemput, rio pun pulang ke rumahnya, yang hanya berjarak beberapa rumah dari rumah via.
Via merenung di pinggir tempat tidurnya, ia memikirkan kata-kata rio, pujian-pujian tulus yang terlontar dari bibir rio hanya untuknya seorang, kepercayaan rio yang tiada terbatas, dan tentunya rasa sayang rio yang terlalu besar untuknya. Pandangannya beralih ke arah lain, ia berjalan menghampiri rak pajangan di kamarnya, tangannya meraih kotak, yang tanpa ia ketahui telah di buka oleh rio.
“Perasaan gue doang, atau emang kotaknya agak geser ya” gumam via curiga.
“Semoga tadi rio enggak lihat ini” dengan perlahan via membuka kotak tersebut, memandangi benda di dalamnya, di sentuhnya pelan, bandul serpihan kayu tersebut.
“Maaf yo, hati gue terlanjur terikat sama ini” ucap via pelan, nyaris berbisik. Di genggamnya kalung itu, via terduduk lemas di kasurnya kembali, berharap waktu berhenti sejenak untuk meredakan segala penatnya.
***
Rio tersenyum puas melihat bola basket yang ia shoot masuk ke dalam ring dengan sempurna. Kemudian tanpa lelah ia kembali mendribel bola basketnya tersebut.
“Main sendiri aja lo, oper ke gue dong”
“Emang lo bisa main basket shil ?”
“Lihat aja..” dengan gerakan gesit, shilla merebut bola basket yang sedang rio drible. Shilla mendrible beberapa kali, dan kemudian dia langsung menembaknya dan masuk, cukup membuat rio tercengang.
“Wow, hebat lo ya. Enggak nyangka gue..”
“Haha..kenapa enggak nyangka ?”
“Ternyata lo itu miss.serba bisa ya ? kagum gue sama lo” puji rio, yang bikin shilla sedikit melambung.
“Iya deh mr.serba bisa juga..” mereka asik bermain bersama, oper-operan bola sambil sesekaloi menembakkan bola ke ring. Setelah hampir setengah jam berlalu, mereka pun memutuskan untuk beristirahat sejenak.
“Minum yo..” shilla menyodorkan sebotol aqua dingin untuk rio. Rio menerimanya dan langsung meneguk minuman itu habis.
“Thanks ya shil”
“Hmm. Via enggak nungguin lo ?”
“Enggak, kasian dia kalo harus nungguin gue. Tadi dia udah pulang sama alvin”
“Percaya banget ya lo sama mereka”
“Iyalah. Eh lo sendiri kok belum pulang ?”
“Lha, kan kita mau ngurusin osis dulu yo”
“Sekarang aja yuk, entar keburu sore lagi” ajak rio, shilla hanya mengangguk terus ngekorin rio. Sepanjang jalan mereka ngobrol, shilla selalu merasa nyaman saat dia sedang bersama rio seperti ini. Meski ia tahu, laki-laki yang sedang berjalan disampingnya dan begitu ia kagumi ini adalah orang yang hatinya telah terikat dengan perempuan lain.

Alvin tidak menghiraukan tatapan ramah penuh senyum dari cewek-cewek yang sedang melihat ke arahnya. Kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celana jinsnya, dia berjalan cuek dengan musik dari ipod yang mengalun di telinganya.
“Enggak jalan sama kakak enggak jalan sama kak rio, pasti cewek-cewek pada tebar pesona deh” ujar acha yang dari tadi ngerasa aneh sendiri jalan disamping alvin.
“Bangga dong lo cha, punya kakak ganteng kaya gue sama rio”
“Beuh ! kak gue mau ke toko buku nih, lo mau ikut enggak ?”
“Iyalah, entar lo ilang lagi. Eh tumben lo enggak jalan sama aren ?”
“Tadinya sih janjian sama aren, tapi tiba-tiba dia bilang dia harus nemenin kakaknya”
“Riko ?”
“Mungkin” acha masuk ke toko buku, diikuti oleh alvin di belakangnya. Sementara acha sibuk mencari buku pelajaran, alvin memilih melihat-lihat komik. Setelah selesai, acha dan alvin memutuskan untuk makan dulu di sebuah restaurant.
“Kakak, enggak jealous sama kak via ?”
Alvin diam mendengar kata-kata acha ‘kenapa orang pada nanya kaya gini sih ?’ batin alvin dalam diamnya.
“Kok bengong kak ?”
“Hah..enggak apa-apa. Eh si cakka kemarin nanyain lo tuh” ujar alvin mengalihan pembicaraan.
“Kak cakka ?”
“Iya. Emang ada cakka yang lain ?”
“Nanya apa ?” tanya acha berharap.
“Banyak, kayanya dia suka sama lo”
“Uhuk..uhuk..uhuk..” acha keselek minumnya.
“Haha, kenapa lo ? cie..suka juga lo sama cakka ?”
“Ih apaan sih kakak..”
“Hmm..baguslah kalo lo enggak suka. Masih kecil lo, belum pantes pacaran” kata-kata yang terlontar dari mulut alvin secara spontan itu, entah kenapa malah membuat acha merengut sebal.
“Acha ?” acha menoleh melihat siapa yang memanggil namanya. Ternyata itu adalah aren, sahabatnya. Aren menghampirinya dengan seorang perempuan berambut panjang yang tampak tersenyum.
“Alvin ! enggak nyangka kita ketemu lagi” teriak cewek tersebut heboh. Acha sama aren cuma lihat-lihatan doang, sementara alvin tetap memasang muka acuh tak acuhnya.
“Kak zeva kenal sama kak alvin ?” tanya aren.
“Iya..hehe..eh iya, kenalin gue zeva” zeva menyodorkan tangannya ke acha, acha membalas sodoran tangan itu.
“Acha. Gue kira lo jalan sama kak riko ren”
“Kak zeva ini pacarnya kak riko cha..” acha hanya meng-o-kan mulutnya, sementara alvin untuk pertama kalinya memandang zeva.
“Eh bentar deh, ini ya ren, alvin yang sering berantem sama riko ?” tanya zeva setelah melihat tatapan sinis dari alvin.
“Iya kak..ehm cha, temenin gue ke toko buku yuk, gue belum dapet buku yang kita cari itu”
“Yah ren, gue baru aja balik dari toko buku” tolak acha.
“Ayolah cha, tega banget lo sama gue ?” rayu aren.
“Hmm, ya udahlah. Kak alvin sama kak zeva tunggu disini aja ya..” setelah ditinggalkan aren dan acha. Alvin dan zeva hanya diam-diaman aja, alvin masih terus mendengarkan ipodnya, sementara zeva memilih untuk memainkan handphonenya, meskipun beberapa kali ia melirik ke arah alvin.
“Ehm..vin..apa lo nyesel udah nolongin gue ?” tanya zeva pelan-pelan.
“....”
“Apa kalo lo tahu, gue pacarnya riko dan gue anak vailant, lo enggak akan nolongin gue ? lo bakal biarin gue sendirian disana ?” alvin masih terus diam tidak menggubris zeva sama sekali.
“Malam itu gue berantem sama riko, karena gue berusaha untuk ngelarang dia tawuran lagi sama vendas. Yang ada dia malah nurunin gue di tengah jalan kaya gitu, itu bukan untuk pertama kalinya dia ngelakuin hal semacam itu, tapi entah kenapa, gue selalu aja maafin dia...” entah sadar atau tidak, zeva malah curhat sama alvin.
“Apa urusannya sama gue ?” tanya alvin pada akhirnya.
“Hah ? urusan apa ? emang gue ngomong apa barusan ?” tanya zeva bingung. Alvin juga ikutan bingung, dia cuma mandangin zeva.
“Lo enggak sadar kalo lo abis cerita gue, masalah lo sama riko”
“Emang iya ? kok gue bisa enggak sadar ya ? haha..sori vin sori..” alvin tambah aneh aja ngelihat cewek di depannya ini.
“Enggak nyangka gue ceweknya riko aneh kaya lo gini” ucap alvin enggak pake basa-basi.
“Hehe..emang lo pikir ceweknya riko kaya apa ?”
“Enggak kaya lo yang jelas”
“Lama-lama bisa gila gue ngobrol sama orang kaya lo..hehe..eh pinjem hp lo ya” zeva langsung aja ngambil hpnya alvin yang alvin letakkan di atas meja, alvin cuma bisa pasrah natap itu.
“Nih, save no gue ya. Lo kan tadi udah dengerin gue curhat, entar kapan-kapan lo mau curhat sama gue, hubungin gue aja. Gue mau nyusul aren sama acha ke toko buku aja lah..” zeva meninggalkan alvin yang masih terbengong-bengong menatap layar hpnya.

Acha dan alvin pulang tepat jam makan malam. Papa, mama dan rio udah duduk siap menunggu mereka berdua. Saat-saat berkumpul seperti ini, adalah saat yang sebenernya paling alvin ingin hindari, itu sebabnya tidak seperti acha yang langsung ikut bergabung di ruang makan, alvin memilih untuk langsung masuk ke kamarnya.
“Dasar anak enggak sopan ! di tunggu makan malam, malah ngeloyor pergi gitu aja !” kata-kata papanya, menahan langkah alvin. Dia berbalik, kemudian ikut duduk di ruang makan.
“Darimana aja cha ?” tanya mamanya, berusaha menetralisir keadaan.
“Dari toko buku ma, tadi kak alvin nemenin acha”
“Ngapain ngajak dia ke toko buku ? enggak ada gunanya cha” ujar papanya, yang membuat atmosfer ruangan kembali memanas.

“Pa, udahlah, ini waktunya makan malam” ujar mamanya.
“Papa tuh cuma mau bilang ke acha, kalo ada urusan sekolah, jangan sampe dia dapet pengaruh dari orang yang salah” alvin meletakkan sendok dan garpunya, dia memberanikan diri menatap mata papanya.
“Ya udah cha, lain kali kalo kamu mau pergi sama rio aja, jangan sama gue” alvin berbicara ke acha tapi matanya tetap menatap mata papanya.
“Tapi mungkin tuan besar ini lupa, kalo dia udah bikin rio, kehilangan waktu-waktunya untuk sekedar menikmati masa remajanya. Dia lupa, kalo dia adalah seorang ditaktor di keluarga ini” lanjut alvin lagi. Rio yang duduk di samping alvin enggak bisa berbuat banyak.
“Kurang ajar kamu !”
“Apa ?! mungkin anda bisa mengatur kehidupan rio, tapi maaf, anda tidak bisa mengatur kehidupan saya !” alvin berdiri dari tempat duduknya, dia memandang papanya tajam. Acha dan rio menahan alvin, sementara mamanya menahan papanya.
“Saya ini papa kamu !”
“Papa ? saya udah lupa rasanya punya papa ! setahu saya, seorang papa tidak akan meninggalkan anaknya begitu saja”
“Kamu !” papanya bersiap menghampiri alvin, tapi tangan mamanya terus berusaha menahan itu.
“Tamparan anda sudah tidak berfungsi lagi untuk saya !” dengan emosi yang telah memuncak, alvin langsung pergi, mengambil kunci motornya, dan memilih untuk menghilangkan segala kepenatannya dengan ngebut.
Semua kenangan berputar di otaknya, ia berusaha mencari kenangan terbaik yang ia ingat bersama papanya. Tapi yang muncul, hanyalah teriakan-teriakan kasar, tamparan serta kesinisan dari papanya. Alvin menepikan motornya, ke satu-satunya tempat yang ia tahu akan menenangkannya. Tapi langkahnya terhenti, ketika ia sadar bahwa telah ada yang mendahului dirinya di tempat itu.
“Alvin..” sapa orang itu, ketika menyadari kehadiran alvin.
“Kok lo ada disini vi ?” alvin menghampiri via yang sedang duduk di pinggir danau.
“Lagi suntuk aja. Lo  abis berantem sama bokap lo ya ?”
“Darimana lo tahu ?”
“Gue udah jadi sahabat lo dari kecil alvin, gue tahu semua tentang lo, gue tahu...” alvin menatap mata bening itu, hanya dengan menatap matanya, alvin bisa merasakan ketenangan yang sangat mendalam. Tersadar, ia mengalihkan pandangannya dari mata itu, dia tahu, dia tidak berhak ada disana.
“Vin, masih inget bintang kita ?” tanya via sambil menatap langit yang dipenuhi oleh taburan bintang.
“Masih..” jawab alvin pendek, dia tidak ingin mengenang bagian ini.
“Kapan-kapan, mau enggak kita balik kesana ?” gantian via menatap mata alvin penuh harap, sorot yang selalu tidak bisa alvin tampik.
Alvin hanya menganggukkan kepalanya, dan entah kenapa via tiba-tiba menyenderkan kepalanya di dada alvin. Mereka sama-sama menatap bintang, berusaha mencuri waktu, berusaha tidak peduli akan kenyataan. Tanpa mereka sadari, sepasang mata melihat mereka dengan gelisah.





Hayo..kira2 cpa yg mlihat Alvin dn Via...



Tunggu part 7...

Ok..

Another Way to Love Part 5


Another Way to Love Part 5












Enggak pernah ada yang lebih indah daripada pemandangan langit sore, saat dimana langit berwarna oranye keemasan, dengan lembayungnya yang menggantung, burung-burung yang berarak pulang, dan semilir angin yang  berhembus merdu. Saat-saat seperti ini adalah sat yang paling via sukai.
“Maaf ya vi, harusnya kemarin kan jadi malam minggu pertama kita, tapi aku malah harus dateng ke acara lain” ujar rio tulus. Via hanya tersenyum melihatnya. Sore ini, rio sengaja mengajak via ke danau, untuk sekedar bertemu dan meminta maaf.
“Kamu enggak masalah kan semalam malah jalan sama alvin, bukannya aku ?”
“Santai aja kali yo, kita kan udah sahabatan dari dulu, aku udah terbiasa banget sama hal-hal kaya gini”
“Beruntung banget aku punya cewek yang pengertian kaya kamu gini” rio mengacak-acak lembut rambut via sambil tersenyum, sementara via malah merasa tidak nyaman dengan pujian rio barusan.
“Gimana kemarin acaranya yo ?” tanya via sekedar mengalihkan pembicaraan.
“Gitulah vi, ngebosenin banget deh. Kamu sendiri gimana jalannya sama alvin ? pasti seru banget kan”
“Biasa aja kok, cuma nonton sama makan doang”
“Gara-gara enggak ada aku ya ? jadinya biasa aja..hehe..”
“Mungkin”
“Atau emang kamu lebih suka jalan sama alvin ?” via diam mendengar pertanyaan rio, kenapa rio malah nanya kaya gitu, sadarkah rio pertanyaan itu terasa telak di hatinya via.
“Aku suka jalan sama sahabat aku” jawab via diplomatis.
“Haha..enggak usah tegang gitu kali vi, aku percaya kok sama kamu. Eh iya ngomongin alvin, gimana kalo kita cariin dia cewek ?”
“Cewek ?”
“Iya..abis, seumur-umur aku sama dia, enggak pernah sekalipun dia bahas cewek sama aku”
“Mungkin dia emang belum nemu cewek yang tepat kali yo, lagian harus cewek yang siap mental buat ngadepin dia yang susah diatur kaya gitu” entah mengapa via merasa apa yang ia katakan adalah penolakan yang jujur dari dalam hatinya.
“Iya, cewek yang model-model kaya kamu gini, yang siap di bentak-bentak sama dia, yang siap dia jutekkin, disinisin, di diemin, tapi tetep aja enggak mau nyerah”
“Haha..kaya aku ?”
“Cewek mana coba yang berani deket sama dia, kecuali kamu ? tapi kamu kan udah punya aku..hehe..” sekali lagi rio mengacak-acak rambut via, dan diam-diam via berusaha berdamai dengan kenyataan yang telah ia pilih sendiri itu.
Tepat ketika matahari mulai turun perlahan, via menyandarkan kepalanya di pundak rio. Dan tidak ada getaran itu, yang via rasakan, hanyalah sebuah ketenangan, ketenangan karena ia sedang bersandar di pundak sahabatnya, dan bukan pacarnya. Via menghela napasnya perlahan, seiring perasaan bersalah yang mulai menyelimutinya.

Gabriel menyetir mobilnya tanpa tujuan, rencana awalnya adalah main ke rumah rio, tapi gara-gara rio bilang sore ini dia ada janji sama via, iel pun mengurungkan niatnya. Jadilah sekarang dia cuma di dalem mobilnya sambil nyanyi teriak-teriak enggak jelas. Telunjuknya ia ketuk-ketukkan di stir mobil, kepalanya bergoyang-goyang kekanan-kiri, dan jalan yang lenggang membuatnya menyetir dengan kecepatan diatas rata-rata.
“Ckiitt..” iel ngerem mendadak, waktu di sebuah belokan tiba-tiba ada seseorang yang menyebrang jalan. Dia berusaha mengatur napasnya sendiri, meredakan rasa kekagetannya. Setelah itu, sebagai seorang laki-laki gentleman, dia pun keluar mobil.
Ternyata yang ia tabrak adalah seorang perempuan. Perempuan itu jatuh terduduk tepat di depan mobil iel, ia sedang berusaha meniup-niup lututnya yang mengeluarkan darah. Iel pun berjongkok di depan cewek itu sambil memasang muka penuh rasa bersalah.
“Sori..sori..gue beneran enggak sengaja, lo enggak apa-apa kan ?”
“Enggak kok, guenya yang enggak hati-hati” ujar cewek itu sambil masih sibuk dengan luka dilututnya, tanpa menoleh ke arah iel sedikitpun. Iel berdiri berjalan ke arah mobilnya, dia mengambil kotak p3k yang selalu tersedia di mobilnya dan blazer almamater sekolahnya, yang ia gantungkan di jok belakang kursinya.
“Pake ya, udah malem, sini gue obatin” iel memakaikan blazer itu dan mulai mengobati luka cewek tersebut. Cewek itu melirik ke arah iel dan blazer yang sekarang ia kenakan.
‘vendas ? kenapa dunia sempit banget sih’ gumam cewek itu dalam hati.
“Udah, gue udah enggak apa-apa kok. Makasih ya..” untuk pertama kalinya cewek itu menatap iel, iel yang awalnya hanya ingin membalas tatapan itu, malah terpaku melihat senyuman gadis itu, sorot matanya, serta garis wajah cantiknya.
“Hei..” cewek itu melambai-lambaikan tangannya di depan muka iel.
“Hah ? eh..ehm..mau gue anter ?” tanya iel  gelagapan.
“Enggak usah, makasih, gue lagi nunggu di jemput”
“Ya udah gue tunggu sampe jemputan lo dateng” kata iel maksa.
“Jangan dong, mending lo pulang aja, gue..ehm..di jemput..cowok gue” hati iel hancur seketika mendengar pengakuan tersebut, dia cuma tersenyum sambil membereskan kotak p3knya.
“Ya udah gue duluan ya, eh iya nama lo siapa ? gue gabriel” ujar iel sambil menjulurkan tangannya. Cewek itu baru mau membalasnya, ketika
“Teet..teet..teet..”
“Sori, gabriel. Gue udah di jemput, ini blazer lo” setelah menyerahkan blazer itu, cewek tersebut langsung masuk ke dalam mobil itu. Iel hanya menunduk, memandangi tangannya yang bahkan belum sempat berjabat dengan tangan cewek tersebut, dengan langkah gontai, dia kembali ke mobilnya.
***
Sambil bersiul-siul kecil, alvin masuk ke dalam kelasnya yang telah di mulai dari satu jam yang lalu, tapi seperti biasa ia tidak pernah peduli dengan hal seperti ini. Dia langsung melangkah ke arah bangku paling belakang, meletakkan rangselnya, lalu mengeluarkan sketch booknya.
Perlahan namun pasti, alvin mulai menggoreskan pensilnya di atas sketch booknya itu. Imajinasinya melayang jelas di depan matanya. Dia terus tenggelam dalam dunianya sendiri, dunianya yang paling privat dan tertutup. Hingga tiba-tiba selembar kertas di sodorkan ke arahnya. Dengan gerakan singkat, alvin menampik kertas itu.
“Hari ini kita quiz alvin, dan kamu belum ikut satu quiz pun di pelajaran saya semester ini” tanpa melihat lawan bicaranya, alvin menutup sketch booknya dengan keras, dan memukul meja.
“Ganggu tahu enggak lo !!”
“Saya guru kamu alvin !” alvin melirik sekilas ke arah gurunya yang telah menghadap ke arahnya sambil berkacak pinggang. Seisi kelas juga sekarang sedang memperhatikannya, menghentikan aktivitas mereka masing-masing. Alvin mengambil tasnya, kemudian ia beranjak pergi.
“Mau kemana kamu ?!”
“Detention room” jawab alvin singkat sambil terus berjalan ke luar kelasnya. Ternyata hanya ada dirinya di detention room hari ini, ya memang alvin udah kaya siswa tetap sih di detention room. Lagian guru di detention room, juga udah keabisan akal mau ngasih hukuman apa buat alvin. Alvin mungkin salah satu pencetak sejarah di vendas, murid yang telah melanggar lebih dari selusin peraturan-peraturan yang ada.
“Gue harus ngapain ?” tanya alvin cuek.
“Kamu lagi kamu lagi, setiap hari, selalu kamu yang masuk detention room”
“Ada hukuman enggak buat gue ?!”
“Kamu ke world history room dan bersihkan alat peraga disana” perintah gurunya. Tanpa jawaban apapun dari mulut alvin, alvin segera pergi meninggalkan detention room. Bandel-bandel gini, alvin selalu menjalankan hukuman yang ia terima, buat dia itu termasuk resiko perbuatannya.
Dalam diam, alvin mulai merapikan buku-buku yang acak-acakan dan alat peraga lainnya. Sesekali ia membaca tulisan-tulisan yang menarik minatnya.
“Kreek..” alvin menatap ke arah pintu yang terbuka, dia hanya tersenyum tipis melihat siapa yang masuk.
“Kok disini vin ? bukannya lo sekarang harusnya di economy class ?”
“Detention vi. Lo sendiri ngapain kesini ?”
“Gue emang lagi history class sekarang, guru gue nyuruh ngambil film dokumenter yang ada disini”
“Oh...” ujar alvin cuek. Via hanya bisa sabar melihat kelakuan alvin, dia berjalan ke arah rak film dokumenter, ternyata film yang gurunya maksud ada di rak paling atas, dan itu cukup membuat via kesulitan mengambilnya. Dia berusaha melompat-lompat untuk bisa meraih film tersebut, tangannya menggapai-gapai, tapi matanya melihat ke arah alvin, berharap alvin membantunya.
“Gubraakk”
“Lo ngapain vi ?!”
Via meringis menatap alvin, entahlah apa yang telah ia lakukan tapi semua film dokumenter yang telah tersusun secara rapi di rak sekarang berhamburan jatuh di lantai, via sendiri juga ikut terjatuh. Alvin menghampiri via dan berlutut di depannya.
“Ma..maaf vin..gue bantuin ya..” entah mengapa, tapi sebutir air mata meluncur dari matanya.
“Kok lo nangis ? ada yang sakit ? lo luka ?” tanya alvin panik, dia menarik via pelan, dari timbunan film-film itu.
“Gu..gue..takut..elo marah” ujar via pelan.
“Hahaha..aneh dasar” via menatap alvin yang malah tertawa terbahak-bahak.
“Jadi lo enggak marah ?”
“Ngapain gue mesti marah coba ? makanya kalo enggak bisa tuh minta tolong. Lo tuh ya, udah segede ini aja masih tetep cengeng” alvn menghapuskan air mata via dengan telunjuknya.
“Ngapain lo berdua disini ?”
Alvin dan via berdiri mematung di tempatnya, mereka ngerasa kaya maling yang di tangkep hidup-hidup sekarang. Pintu yang tadi via biarkan terbuka, membuat mereka tidak sadar akan kehadiran orang lain di ruangan itu, dan apesnya, orang itu adalah rio.
“Ya ampun itu rak kenapa acak-acakan ?” tanya rio lagi, sambil nunjuk ke arah film yang dijatuhin via.
“Yo..ehm..ini, aku lagi mau ngambil film dokumenter, dan enggak tahu gimana, aku malah jatuhin semua filmnya, dan terus alvin nolongin aku” jelas via sambil ngeremet-remet tangannya sendiri, berusaha menghilangkan rasa gugupnya.
“Lha, lo ngapain disini vin ?”
“Detention yo. Sori, yang lo lihat tadi enggak kaya yang lo pikir, gue cuma nolongin via dan..”
“Iya-iya gue tahu, thanks ya vin, udah nolongin cewek gue..hehe..emang gue lebih tenang kalo via sama lo” rio nepuk-nepuk bahu alvin, alvin berusaha tersenyum ke arah rio.
“Kamu sendiri ngapain yo ?” tanya via.
“Tadi aku abis dari ruang guru, terus denger suara ribut dari sini, ya udah aku masuk aja. Eh vin, gue bantuin ya beresinnya, itung-itung kan lo udah bantuin cewek gue”
“Via juga sahabat gue kali yo, bakal gue tolongin juga kalopun dia bukan cewek lo” alvin mengatakan itu sambil melihat ke arah via.
“Udahlah pokoknya gue mau bantuin lo, udah sana vi kamu balik ke kelas, pasti dari tadi guru kamu nungguin film dokumenternya kok enggak dateng-dateng” via tidak dapat membantah kata-kata rio, dia mengambil film yang ia inginkan dan meninggalkan rio dan alvin di ruangan itu.
“Lo enggak curiga sama gue yo ?”
“Curiga buat apa ?”
“Gue sama via”
“Haha, enggaklah. Gue jelas-jelas tahu kalo lo berdua sahabatan”
“Gimana kalo gue ngerebut via dari lo ?” rio berhenti menata film-film itu, alvin juga berhenti.
“Eh itu cuma misalnya yo, gue cuma iseng nanya doang” jelas alvin kelabakan, dia kebawa suasana nanyain pertanyaan konyol itu.
“Gue rasa lo enggak cukup tega ah vin buat ngerebut via dari gue...hehe..iya enggak ?” tanya rio balik.
“I..iyalah. Enggak akan gue ngerebut via dari lo yo, tenang aja”
“Iya gue tahu kok” ujar rio. Lalu mereka berdua melanjutkan kembali merapikan film-film tersebut.
***
Tangannya memetik senar gitarnya tanpa nada, meski melodi yang mengalun tetap saja indah untuk di dengar. Rio menatap bintang-bintang dari beranda kamarnya. Sesekali ia mengubah posisi duduknya, tapi matanya terus menatap bintang dan tangannya terus memetik senar gitarnya.
Biasanya kalo dia udah kaya gini, dia terbiasa mencurahkan perasaannya sama via ataupun  alvin. Hanya saja malam ini, via bilang dia harus belajar karena mau ada tes dan alvin entah telah menghilang kemana sejak pulang sekolah tadi.
Diam-diam, tanpa siapapun pernah mengetahuinya, rio kadang sering iri, akan diri alvin. Yang dia anggap bebas menentukan apapun pilihannya, bebas melakukan apa saja tanpa memikirkan perasaan orang lain, dan bebas untuk mengatur hidupnya sendiri. Berbeda dengannya, yang selalu terlanjur dituntut untuk selalu jadi nomer satu tanpa cela sedikitpun, yang selalu harus berlaku sempurna, meski kadang hal itu tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Tidak ada yang salah, dengan menjadi anak kebanggaan bagi orang tuanya dan contoh bagi teman-temannya di sekolah. Tapi rio tetaplah seorang manusia, yang memiliki titik jenuh akan hidupnya, yang terlalu monoton.
“Ngelamun melulu”
“Ngapain cha ? ngagetin aja..” rio melirik ke arah acha yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya.
“Mama pergi nemenin papa, katanya ada acara pembukaan apa gitu, jadi daripada sepi, mending acha ke kamar kakak” jelas acha sambil duduk di samping rio.
“Oh, untung gue enggak diajak”
“Haha, nasib lo kak” goda acha.
“Cha, lo pernah ngerasa iri sama seseorang enggak ?”
“Iri ? buat apa, acha sih terima-terima aja sama yang acha punya, paling iri sama nilai-nilai kak rio yang selalu sempurna itu”
“Itu sih tetep aja namanya lo pernah ngerasa iri, sama gue lagi irinya”
“Haha, siapa sih yang enggak iri sama kakak. Kakak itu pinter, ketua osis, jago di segala bidang, kapten basket, pinter main musik, suara bagus, tampang oke”
“Gimana kalo gue capek jadi sempurna cha ?”
“Kakak kenapa sih ? acha bingung deh”
“Lo lihat deh alvin, hidupnya dia tuh bebas banget, apa yang dia mau ya itu yang dia lakuin, enggak peduli apa kata orang”
“Dimata acha, kakak sama kak alvin, sama-sama kakak yang hebat. Kalian berdua punya keahlian di bidang masing-masing kan, dan yang perlu kakak tahu, acha bangga punya kakak kaya kak rio dan kak alvin”
“Makasih ya cha, enggak nyangka gue, lo bisa bijak juga”
“Yee..” cibir acha, yang bikin rio tersenyum. Setidaknya kata-kata acha tadi cukup menghiburnya untuk saat ini.


Dalam sekali teguk, alvin langsung menghabiskan sisa minum dari gelasnya. Hanya tinggal dia satu-satunya pengunjung di kafe ini, alvin baru aja nongkrong sama temen-temennya dan sekarang mereka udah pulang duluan.
“Maaf mas, kafenya udah mau tutup” ujar seorang karyawan memberitahu alvin. Alvin melirik jam tangannya, memang sudah pukul sebelas malam.
“Iya, ini juga gue udah mau pergi, mana bill gue” setelah membayar semua pesanannya, alvin bergegas meninggalkan kafe tersebut. Dia memakai helmnya dan bersiap untuk menyalakan motornya. Ketika matanya menangkap seoranng perempuan sedang terduduk di pinggir trotoar dan wajahnya ia sembunyikan di balik kedua tangannya. Didasari rasa ketidaktegaannya, alvin pun menghampiri cewek tersebut.
“Lo kenapa ?” cewek tersebut menengadahkan wajahnya, terlihat jelas bahwa ia abis menangis, karena sisa-sisa air yang melekat di wajahnya.
“Apa peduli lo ? kita bahkan enggak kenal”
“Ya udah. Gue cuma mau bilang, ini udah jam sebelas malem, dan bakal susah kalo lo mau cari transport buat pulang” ujar alvin sambil berlalu meninggalkan cewek tersebut.
“Emang lo mau nganterin gue balik ?” tanya cewek itu sambil berteriak ke arah alvin yang semakin menjauh, alvin tidak menggubrisnya, dia terus berjalan ke arah motornya. Tapi tidak berapa lama kemudian, alvin kemabali lagi kehadapan cewek itu bersama motornya.
“Ayo cepetan naik” perintah alvin.
“Hah ?”
“Penawaran terakhir nih, mau balik enggak lo” cewek itu celingukan ke arah kanan dan kirinya, sepi. Lalu dia berpikir sejenak ‘enggak ada tampang jahat kok nih orang’ batinnya. Dia pun berdiri dan naik ke motor alvin.
“Dimana rumah lo ?” tanya alvin.
“Komplek kencana indah” jawab cewek tersebut, dan motor alvin pun langsung melesat cepat.
“Makasih ya, maaf ngerepotin. Oh ya kenalin gue zevana, tapi lo bisa panggil gue zeva”
“Gue alvin”
“Kenapa lo mau nganterin gue ?” tanya zeva masih bingung.
“Karena nyokap gue cewek, gue punya adek cewek dan gue juga punya sahabat cewek”
“Oh..ya udah, makasih ya, makasih banget, gue enggak kenal sama lo, tapi lo mau bantuin gue”
“Hmm, gue duluan ya” sebelum zeva membalas kata-kata alvin, motor alvin telah melesat kembali di gelapnya malam. 




Jngb lupa...tngglkn jejak or coment

[+/-]

Another Way to Love Part 6

[+/-]

Another Way to Love Part 5

 

Fika Stefani Auliya. Design By: SkinCorner